Imunisasi Dasar Wajib
Imunisasi
wajib adalah imunisasi yang harus diberikan pada bayi. Dengan imunisasi
wajib, maka bayi akan terlindung terhadap penyakit yang kerap
menyerang. Di antara berbagai jenis
imunisasi, yang termasuk imunisasi wajib adalah imunisasi BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B.
1. Vaksin BCG
a. Penjelasan
Vaksin
BCG mengandung jenis kuman TBC yang masih hidup tapi sudah dilemahkan.
Pemberian imunisasi ini bertujuan untuk menimbulkan kekebalan aktif
terhadap penyakit tuberkulosis (TBC).
b. Cara imunisasi
Imunisasi
BCG dapat diberikan pada bayi baru lahir sampai berumur 12 bulan.
Tetapi, sebaiknya pada umur 0 – 2 bulan. Imunisasi ini cukup diberikan
satu kali saja. Pada anak berumur Iebih dari 2 – 3 bulan, dianjurkan
untuk melakukan uji mantoux / PPD sebelum imunisasi BCG.
Gunanya untuk mengetahui apakah
ia telah terjangkit penyakit TBC. Seandainya uji mantoux positif, maka
anak tersebut tidak mendapat imunisasi BCG lagi.
Bila pemberian imunisasi itu
berhasil, setelah 1 – 2 bulan di tempat suntikan akan terdapat suatu
benjolan kecil. Tempat suntikan itu biasanya berbekas. Dan kadang –
kadang benjolan itu akan bernanah, tetapi akan sembuh sendiri meskipun
lambat.
c. Kekebalan
Imunisasi
BCG tidak dapat menjamin 100% anak akan terhindar penyakit TBC. Tetapi,
seandainya bayi yang telah diimunisasi BCG terjangkit TBC, maka ia
hanya akan menderita penyakit TBC ringan.
d. Reaksi imunisasi
Setelah
suntikan BCG, biasanya bayi tidak akan menderita demam. Bila ia demam
setelah imunisasi BCG umumnya disebabkan oleh hal lain.
e. Efek samping
Pada
imunisasi BCG, umumnya jarang dijumpai efek samping. Memang, kadang
terjadi pembengkakan kelenjar getah bening setempat yang terbatas, tapi
biasanya sembuh dengan sendirinya walaupun lambat.
Bila suntikan BCG dilakukan di
lengan atas, pembengkakan kelenjar terjadi di ketiak atau di leher
bagian bawah. Suntikan di paha dapat menimbulkan pembengkakkan di
kelenjar selangkangan.
f. Indikasi kontra
Tidak ada larangan untuk melakukan imunisasi BCG kecuali pada anak berpenyakit TBC atau menunjukkan uji mantoux positif.
2. Vaksin Hepatitis B
a. Penjelasan
Vaksinasi
dimaksudkan untuk mendapat kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis
B. Vaksin tersebut bagian dari virus hepatitis B yang dinamakan HBs Ag,
yang dapat menimbulkan kekebalan tapi tidak menimbulkan penyakit. HBs Ag
ini dapat diperoleh dari serum manusia atau dengan rekayasa genetik
dengan bantuan sel ragi .
b. Cara imunisasi
Imunisasi
aktif dilakukan dengan cara pemberian suntikan dasar sebanyak tiga kali
dengan jarak waktu satu bulan antara suntikan satu dan dua, lima bulan
antara suntikan dua dan tiga.
Imunisasi ulang diberikan
setelah lima tahun pasca imunisasi dasar. Cara pemberian imunisasi dasar
tersebut dapat berbeda, tergantung dari rekomendasi pabrik pembuat
vaksin hepatitis B mana yang akan dipergunakan.
Misalnya imunisasi dasar vaksin
hepatitis B buatan Pasteur, Perancis berbeda dengan jadwal vaksinasi
vasksin buatan MSD, Amerika Serikat.
Khusus
bayi yang lahir dari seorang ibu pengidap virus hepatitis B, harus
diberikan imunisasi pasif dengan imunoglobulin anti hepatitis B dalam
waktu sebelum berusia 24 jam.
Berikutnya bayi tersebut harus
pula mendapat imunisasi aktif 24 jam setelah lahir, dengan penyuntikan
vaksin hepatitis B dengan pemberian yang sama seperti biasa.
Mengingat daya tularnya yang
tinggi dari ibu ke bayi, sebaiknya ibu hamil di Indonesia melakukan
pemeriksaan darah untuk mendeteksi apakah is mengidap virus hepatitis B
sehingga dapat dipersiapkan tindakan yang diperlukan menjelang kelahiran
bayi.
Imunisasi Wajib
Imunisasi
wajib adalah imunisasi yang harus diberikan pada bayi. Dengan imunisasi
wajib, maka bayi akan terlindung terhadap penyakit yang kerap
menyerang. Di antara berbagai jenis
imunisasi, yang termasuk imunisasi wajib adalah imunisasi BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B.
3. Vaksin DPT (Difteria, Pertusis, Tetanus)
a. Penjelasan
Vaksinasi
DPT akan menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan
terhadap penyakit Difteria, Pertusis (batuk rejan / batuk seratus hari),
dan tetanus.
Di Indonesia vaksin terhadap
ketiga penyakit tersebut dipasarkan dalam tiga kemasan, yaitu dalam
bentuk kemasan tunggal bagi tetanus, dalam bentuk kombinasi DT (difteria
dan tetanus), dan kombinasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus).
Vaksin difteria dibuat dari
toksin / racun kuman difteria yang telah dilemahkan dinamakan toksoid.
Biasanya diolah dan dikemas bersama – sama dengan vaksin tetanus dalam
bentuk vaksin DT, atau dengan vaksin tetanus dan pertusis dalam bentuk
vaksin DTP.
Vaksin tetanus yang digunakan
untuk imunisasi aktif ialah toksoid tetanus atau toksin / racun kuman
tetanus yang sudah dilemahkan kemudian dimurnikan. Ada tiga macam
kemasan vaksin tetanus, yaitu bentuk kemasan tunggal dan kombinasi
dengan vaksin difteria (vaksin DT) atau kombinasi dengan vaksin difteria
dan pertusis (vaksin DTP).
Vaksin terhadap penyakit batuk
rejan atau batuk seratus hari terbuat dari kuman Bordetella
Pertussisyang telah dimatikan. Selanjutnya dikemas bersama vaksin
difteria dan tetanus (vaksin DTP)
b. Cara imunisasi
Imunisasi
dasar DPT diberikan tiga kali, sejak bayi berumur dua bulan dengan
selang waktu antara dua penyuntikan minimal empat minggu. Imunisasi
ulangan/booster yang pertama dilakukan pada usia 11/2 – 2 tahun atau
satu tahun setelah suntikan imunisasi dasar ketiga.
Imunisasi ulang berikutnya
dilakukan pada usia enam tahun atau di saat kelas 1 SD. Pada saat kelas 6
SD diberikan lagi imunisasi ulang dengan vaksin DT. Vaksin pertusis
(batuk rejan) tidak dianjurkan pada anak yang berusia Iebih dari tujuh
tahun karena reaksi yang timbul dapat lebih hebat selain itu juga
perjalanan penyakit pertusis pada anak berumur lebih dari lima tahun
tidak parah.
Pada masa mendatang telah
dipikirkan untuk memberikan vaksin tetanus khusus untuk anak perempuan
yang belum pernah mendapat imunisasi DPT, atau imunisasi DPT tidak
lengkap, sebanyak dua kali lagi pada saat kelas dua dan kelas 3 SD
tindakan ini diperkirakan
cukup
untuk memberikan perlindungan seumur hidup terhadap penyakit tetanus
sehingga bayi yang kaiak dikandung dapat terlindung dari penyakit
tetanus neonatorum atau tetanus pada bayi baru lahir.
Di indonesia penyakit tetanus
pada bayi baru lahir masih merupakan penyebab kematian yang kadang
terjadi pada saat bayi baru lahir.
Imunisasi
ulang sewaktu, diperlukan juga bila anak berhubungan dengan anak lain
yang menderita difteria atau batuk rejan. Atau bila diduga luka pada
anak akan terinfeksi tetanus.
Dalam hal imunisasi tidak perlu
cemas seandainya anak mendapatkan suntikan ulang sebelum waktunya. Atau
bila diduga luka pada anak akan terinfeksi tetanus, biasanya akan
memberikan suntikan ulang. Lebih baik memberikan imunisasi berlebih
daripada kurang.
c. Kekebalan
Daya
proteksi atau daya lindung vaksin difteria cukup baik, yaitu sebesar 80
– 95% dan daya proteksi vaksin tetanus sangat baik, yaitu sebesar 90 –
95%. Sedangkan daya proteksi vaksin pertusis masih rendah, yaitu 50 –
60%.
Oleh karena itu anak yang telah
mendapat imunisasi pertusis masih dapat terjangkit penyakit batuk rejan,
tetapi dalam bentuk yang lebih ringan.
d. Reaksi imunisasi
Reaksi yang mungkin terjadi biasanya demam, pembengkakan dan rasa nyeri di tempat suntikan selama satu – dua hari.
e. Efek samping
Kadang
– kadang timbul reaksi akibat efek samping yang berat, seperti demam
tinggi atau kejang, yang disebabkan oleh unsur pertusisnya.
f. Kontra indikasi
Imunisasi
DPT tidak boleh diberikan pada anak yang sakit parah dan anak yang
menderita penyakit kejang demam kompleks. Juga tidak boleh diberikan
kepada anak dengan batuk yang diduga sedang menderita batuk rejan dalam
tahap awal atau pada penyakit gangguan kekebalan (defisiensi umum).
4. POLIO
Umur pemberian 1 bulan, 2
bulan, 3 bulan, 4 bulan, sebanyak 4 kali, untuk mencegah penularan
polio yang menyebabkan lumpuh layuh pada tungkai dan atau lengan.
Bila pada suntikan DPI pertama,
ASI dapat diberikan seperti biasa karena ASI tidak berpengaruh terhadap
vaksin polio. Imunisasi ulangan diberikan bersamaan dengan imunisasi
ulang DPT.
Pemberian imunisasi ulang perlu
tetap diberikan seandainya seorang anak pernah terjangkit polio. Karena
mungkin saja anak yang menderita polio itu terjangkit virus polio tipe
I. artinya, apabila penyakitnya telah sembuh ia hanya mempunyai
kekebalan terhadap virus polio tipe I, tetapi tidak mempunyai kekebalan
terhadap jenis virus polio tipe II dan III. Karena itu untuk mendapat
kekebalan terhadap ketiga virus tersebut perlu diberikan imunisasi ulang
polio.
a. Kekebalan
Daya proteksi vaksin polio sangat baik, yaitu sebesar 95 – 100%.
b. Reaksi imunisasi
Biasanya tidak ada, mungkin pada bayi akan mengalami berak – berak ringan
c. lndikasi kontra
Pada
anak dengan diare berat atau yang sedang sakit parah imunisasi polio
sebaiknya ditangguhkan demikian pula pada anak yang menderita gangguan
kekebalan (defisiensi imun) tidak diberikan. Pada anak dengan penyakit
batuk, pilek, demam atau diare ringan imunisasi polio bisa diberikan
seperti biasanya.
5. Vaksin Campak (Morbili)
a. Penjelasan
Imunisasi
diberikan untuk mendapat kekebalan terhadap penyakit campak secara
aktif. Vaksin campak mengandung virus campak yang telah dilemahkan.
Vaksin campak yang beredar di
Indonesia dapat diperoleh dalam bentuk kemasan kering tunggal atau dalam
kemasan kering dikombinasi dengan vaksin gondong / bengok (mumps) dan
rubella (campak jerman).
Di Amerika Serikat kemasan terakhir ini dikenal dengan nama vaksin MMR (Mesles-Mumps-Rubella vacine).
b. Cara imunisasi
Bayi
baru lahir biasanya telah mendapat kekebalan pasif terhadap penyakit
campak dalam kandungan dari ibunya. Makin lanjut umur bayi, makin
berkurang kekebalan pasif tersebut. Waktu berumur enam bulan biasanya
sebagian dari bayi tidak mempunyai kekebalan pasif lagi.
Dengan adanya kekebalan pasif ini sangat jarang seorang bayi menderita campak pada umur kurang dari enam bulan.
Menurut WHO (1973) imunisasi
campak cukup satu kali suntikan setelah bayi berumur sembilan bulan.
Lebih baik lagi setelah ia berumur Iebih dari satu tahun. Karena
kekebalan yang diperoleh berlangsung seumur hidup, maka tidak diperlukan
imunisasi ulang lagi.
Di Indonesia keadaannya
berlainan. Kejadian campak masih tinggi dan sering dijumpai bayi
menderita penyakit campak ketika masih berumur antara enam – sembilan
bulan, jadi pada saat sebelum ketentuan batas umur sembilan bulan untuk
mendapat vaksinasi campak seperti yang dianjurkan WHO.
Dengan demikian di Indonesia
dianjurkan pemberian imunisasi campak pada bayi sebelum bayi berumur
sembilan bulan, misalnya pada umur enam – sembilan bulan ketika
kekebalan pasif yang diperoleh dari ibu mulai menghilang. Akan tetapi
kemudian harus mendapat suntikan ulang setelah berumur lima belas bulan.
Perlukah vaksinasi campak
diulang pada anak yang telah menderita campak karena infeksi alamiah?
Sebenarnya bila anak tersebut telah benar – benar menderita sakit
campak, maka vaksinasi campak tidak perlu diberikan lagi. Masalahnya
adalah apakah anak tersebut benar menderita campak? Biasanya seorang ibu
mendasarkan dugaan sakit anaknya itu hanya karena adanya demam yang
disertai timbulnya bercak merah di kulit.
Gejala demam dengan bercak merah
tidak hanya pada penyakit campak, tetapi dapat juga dijumpai pada
penyakit lain, seperti penyakit “demam tiga hari”, demam berdarah,
campak Jerman dan sebagainya.
menderita kurang gizi dalam derajat besar.
Daya proteksi vaksin hepatitis B cukup tinggi, yaitu berkisar antara 94 – 96% .
c. Reaksi imunisasi
Umumnya
tidak didapatkan reaksi, walaupun sangat jarang tetapi pada beberapa
keadaan dapat terjadi reaksi. Biasanya berupa nyeri pada tempat
suntikan, yang kemudian disertai demam ringan atau pembengkakan. Reaksi
ini akan menghilang dalam waktu dua hari.
d. Efek samping
Tidak
dilaporkan adanya efek samping yang berarti. Kemungkinan terjangkit
oleh penyakit AIDS akibat pemberian vaksin hepatitis B yang berasal dari
plasma, merupakan berita yang terlalu dibesarbesarkan.
e. Indikasi kontra
Imunisasi
tidak dapat diberikan kepada anak yang menderita sakit berat. Vaksinasi
hepatitis B dapat diberikan pada ibu hamil dengan aman dan tidak akan
membahayakan janin. Bahkan memberikan perlindungan kepada janin selama
dalam kandungan ibu maupun kepada bayi selama beberapa bulan setelah
lahir.